Kategori :

Terkikisnya Identitas Lokal: Tugu Pagoda dan Gapura China di Pusat Kota Bandar Lampung Tuai Polemik

Bandar Lampung – Puspa Indo Media Pembangunan Tugu Pagoda dan Gapura bertuliskan huruf China di kawasan pusat kota Teluk Betung, Bandar Lampung, memantik kontroversi dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Proyek yang dikerjakan oleh CV. Prabumulih dan dibiayai melalui APBD Kota Bandar Lampung Tahun 2024 ini dinilai tidak mencerminkan identitas budaya lokal, bahkan dianggap mengabaikan kearifan adat Lampung.

Dua proyek monumental yakni Tugu Pagoda dan Gapura Selamat Datang menjadi sorotan publik. Dari hasil penelusuran tim Puspa Indo Media bersama rekanan investigasi, ditemukan sejumlah kejanggalan baik secara konsep budaya maupun spesifikasi teknis proyek.

Tugu Pagoda dikerjakan oleh CV. Prabumulih dengan pagu anggaran Rp 968.136.450,00.

Gapura Selamat Datang bernilai Rp 1.972.962.533,73 bersumber dari APBD Kota Bandar Lampung 2024.

Kedua bangunan ini disebut memiliki arsitektur menyerupai kuil negeri China, lengkap dengan ornamen dan huruf China, menggantikan aksara Lampung yang sebelumnya menjadi ciri khas kota.

Proyek berada di bawah Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Bandar Lampung dengan CV. Prabumulih sebagai pelaksana. Sementara pihak yang disoroti publik adalah Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, yang dinilai lalai menjaga nilai-nilai budaya lokal dalam setiap kebijakan pembangunan.

Ketua PWDPI Kota Bandar Lampung, Indra Segalo-galo, turut mengecam keras keputusan tersebut.“Ini bentuk pelecehan terhadap identitas lokal. Wali Kota seharusnya menjunjung tinggi kearifan budaya Lampung, bukan menonjolkan simbol asing di ruang publik,” ujar Indra tegas di kantornya, Jumat (17/10/2025).

Bangunan Tugu Pagoda dan Gapura bertuliskan huruf China berdiri di kawasan Bundaran Teluk Betung, yang merupakan pusat kota Bandar Lampung, tidak jauh dari kantor Wali Kota, DPRD, dan Kantor Gubernur Lampung.

Proyek dikerjakan sejak tahun 2024 dan rampung pada 2025, menggantikan tulisan aksara Lampung yang sebelumnya terpasang di lokasi tersebut. Warga menilai pembangunan ini mengikis identitas budaya Lampung yang dikenal dengan mahkota siger, kain tapis, dan aksara Lampung.

Seorang warga, Udin (47), menyatakan: “Kami rakyat Lampung ingin maju dengan kearifan lokal kami sendiri. Lampung harus dikenal dunia dengan siger, tapis, dan huruf Lampung, bukan huruf China,” katanya penuh kecewa.

Selain soal budaya, publik juga mempertanyakan prioritas anggaran di tengah kondisi ekonomi sulit. Wali Kota disebut kerap menggelontorkan dana besar untuk pembangunan lembaga vertikal, termasuk Rp 50 miliar untuk Unila, Rp 75 miliar untuk UIN Raden Intan, serta rencana Rp 60 miliar untuk Kejati Lampung, padahal lembaga-lembaga tersebut memiliki anggaran dari pusat.

Ketua PWDPI Indra Segalo-galo mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk KPK RI, untuk mengaudit secara menyeluruh penggunaan APBD Kota Bandar Lampung tahun 2024–2025.

“Kita minta KPK turun tangan. Ada dugaan kuat pelanggaran administratif, etika budaya, hingga potensi korupsi. Ini bukan hanya soal tugu, tapi tentang marwah daerah dan penghormatan terhadap UUD 1945 pasal 18B,” ungkapnya. Indra juga menegaskan, Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta jelas menyebut bahwa negara memegang hak cipta atas karya budaya tradisional, sehingga pemerintah daerah wajib melindungi, bukan menghapus atau mengganti simbol kearifan lokal. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *